JAKARTA - Meski pemerintah membekukan izin operasi 190 perusahaan tambang, Asosiasi Pemasok Energi, Batubara, dan Mineral Indonesia (Aspebindo) meyakini langkah tersebut hanya berdampak sementara dan tidak signifikan terhadap kinerja pertambangan nasional maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Aspebindo menilai pengaruh utama terhadap PNBP sektor minerba lebih dipengaruhi oleh fluktuasi harga global batu bara dan komoditas daripada pembekuan izin.
“Secara makro, realisasi PNBP sektor minerba per September 2025 mencapai 70% dari target,” ungkap Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugroho. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sejumlah izin dibekukan, sektor pertambangan tetap mencatatkan kinerja yang solid.
Secara produksi, data Minerba One Data Indonesia (MODI) mencatat bahwa per September 2025, produksi minerba, khususnya batubara, mencapai 509 juta ton atau setara 68% dari target tahunan 739,7 juta ton. Fathul menekankan, realisasi produksi ini memperlihatkan ketahanan sektor minerba terhadap pembekuan izin yang bersifat administratif.
Aspebindo juga menilai bahwa memasuki musim dingin di beberapa negara, permintaan batubara akan meningkat seiring dengan kebutuhan listrik yang lebih tinggi. “Kami yakin penjualan batubara Indonesia akan meningkat, sehingga efek pembekuan izin hanya bersifat sementara,” ujar Fathul.
Terkait pembekuan izin operasi, Fathul menegaskan bahwa langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merupakan bagian dari penegakan tata kelola pertambangan yang baik. Dari total 190 IUP yang dibekukan, mayoritas perusahaan belum memenuhi kewajiban jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang.
“Sampai saat ini, baru 15 perusahaan yang membayar jaminan reklamasinya. Maka dari itu, Aspebindo menyerukan agar perusahaan yang terdampak mengikuti prosedur dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah melalui Kementerian ESDM,” imbuhnya.
Langkah pembekuan izin ini juga menegaskan keberlanjutan prinsip administrasi yang diterapkan pemerintah. Sebelumnya, mekanisme peringatan telah dilakukan melalui Surat Peringatan (SP) 1, SP 2, dan SP 3. Dengan demikian, pembekuan izin merupakan tahap lanjutan setelah upaya peringatan dan pemberian kesempatan kepada perusahaan untuk memenuhi kewajiban.
Fathul menyebutkan, tindakan ini sejalan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2025, yang kerap disebut sebagai Permen RKAB. Dalam Pasal 5 aturan tersebut, disebutkan bahwa baik IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi wajib menempatkan jaminan reklamasi sebagai syarat mutlak untuk memperoleh persetujuan RKAB.
“Kami menilai pemerintah telah memberikan waktu dan kesempatan melalui mekanisme peringatan, dan ini harus disikapi serius. Ini adalah bagian dari penegakan disiplin administrasi dan komitmen kita bersama terhadap keberlanjutan lingkungan,” tambah Fathul.
Aspebindo juga menekankan pentingnya menjaga stabilitas sektor minerba untuk mendukung PNBP dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan mekanisme yang jelas, termasuk kewajiban jaminan reklamasi, industri pertambangan diharapkan tetap beroperasi secara bertanggung jawab tanpa mengganggu penerimaan negara secara signifikan.
Selain itu, Fathul menekankan bahwa pembekuan izin tidak berarti sektor tambang berhenti berproduksi sepenuhnya. Sebagian besar perusahaan yang telah memenuhi kewajiban tetap beroperasi, sehingga kontribusi terhadap PNBP tetap terjaga. Ia menilai bahwa implementasi regulasi yang ketat justru memperkuat kredibilitas sektor minerba di mata investor dan publik.
Dalam perspektif industri, Aspebindo menilai langkah pemerintah ini sebagai bagian dari upaya penguatan tata kelola yang berkelanjutan, termasuk peningkatan kepatuhan perusahaan terhadap tanggung jawab lingkungan. Langkah ini diyakini akan menciptakan iklim investasi yang sehat dan mendukung praktik pertambangan yang lebih bertanggung jawab.
Secara keseluruhan, Aspebindo optimistis bahwa pembekuan 190 izin tambang tidak akan mengganggu kinerja sektor pertambangan secara signifikan, dan PNBP sektor minerba akan tetap berada pada jalurnya. Komitmen perusahaan dan pengawasan ketat dari pemerintah diyakini mampu menjaga stabilitas produksi sekaligus menjamin keberlanjutan lingkungan.
 
                    
 
             
                   
                   
                   
                   
                   
                  